Kamis, 09 Mei 2013

Di Balik Panggung Songgo Buwono

Tempat Mengintai Musuh atau Pertemuan Raja dengan Ratu Kidul

Bangunan Panggung Songgo Buwono yang berbentuk menara tertinggi di Kraton Surakarta ini, hingga kini masih diyakini memiliki dua makna filosofi yang dimitoskan. Ada yang percaya Panggung Songgo Buwono ini sebagai tempat mengintai aktifitas di Benteng Vastenburg (markas Kompeni Belanda) dan tempat pertemuan gaib raja dengan Kanjeng Ratu Kidul. Penasaran? Ikuti penuturannya.

Letak Panggung Songgo Buwono ini berada di dalam Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, merupakan bangunan yang paling tinggi dibandingkan dengan bangunan-bangun­an lain yang ada di wilayah Karesidenan Surakarta. Apa gunanya bagi kraton tower atau menara panggung Songgo Buwono ini ? menurut keterangan dari pihak kraton ternyata ada dua pendapat yang begitu kontroversial dan juga belum ada titik temu. Justru karena tidak ada titik temu itulah, maka kedua cerita itu semakin menarik untuk diperbincangkan­.

Dengan demikian, sebagian orang tetap percaya, bahwa Panggung Songgo Buwono ini memang bangunan kraton yang dikeramatkan, bahkan merupakan lokasi sakral yang dipuja-puja, sebab pada waktu-waktu tertentu di dalam panggung songgo buwono ini bakal kehadiran Kanjeng Ratu Kencanasari, mahkluk gaib ‘penguasa’ bangsa siluman di Pantai Selatan yang merupakan tokoh pepunden bagi pihak kerajaan dinasti Mataram. “Disana panggung Songgo Buwono ini, merupakan pertemuan antara Raja dengan Kanjeng Ratu Kencanasari” ujar GKR Wandansari

Lebih jauh Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari, salah satu putri dari Paku Buwono (PB) XII ini menjelaskan, pertemuan antara raja dengan Kanjeng Ratu Kidul (sebuatan populer Kanjeng Ratu Kencanasari) dengan raja yang kali ini berkuasa. Artinya, ketika di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terjadi suksesi, maka raja yang berikutnya (raja pengganti) yang berkuasa, maka raja inilah yang bakal menemui Sang Ratu gaib ini di dalam Panggung Songgo Buwono dan hal ini berlangsung secara turun temurun sejak kerajaan ini dikuasai oleh PB III.

Dalam pertemuan itu antara Raja dengan Ratu Kidul akan membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kelestarian kraton, selain itu juga menyangkut pembicaraan serta menentukan sebuah solusi (jalan keluar), ketika pihak kraton menghadapi masalah yang cukup pelik dan rumit dipecahkan. Dikisahkan, prosesi ritual pertemuan sakral antara Raja dan Ratu Kidul ini dilakukan, berpijak pada sejarah pertemuannya antara Panembahan Senopati pendiri kerajaan-keraja­an di Jawa, termasuk yang menurunkan raja-raja Dinasti Mataram dengan Ratu Kidul.

Pertemuan pertama kali itu terjadi di pertapaan Khayangan, Dlepih, Wonogiri pada saat itu Panembahan Senopati sedang melakukan ritual semadi, selanjutnya di temui oleh Ratu Kidul dan terjalinlah ikatan asmara. Awalnya, Panembahan Senopati maunya diajak untuk membesarkan kraton di pantai selatan yang dikuasai Ratu Kidul. Namun ajakan itu di tolak, karena Panembahan Senopati itu mahkluk yang berujud manusia, sedangkan Ratu Kidul adalah mahkluk gaib yang berujud siluman.

Ritual Ratu Kidul.
Untuk tetap terjaga jalinan asamara kedua penguasa ini, maka disepakati sebuah ‘perjanjian’ jika kerajaan Dinasti Mataram ingin tetap berdiri dan kuncara (jaya, moncer), pihak kraton harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bersifat ritual yang dipersembahkan untuk Ratu Kidul Diantaranya para waktu-waktu tertentu pihak kraton entah itu Kasultanan Jogyakarta maupun Kasunanan Surakarta harus menggelar prosesi ritual sedekah laut di Parang Tritis maupun Parang Kusumo dengan melarung pakaian raja.

Selain itu, ketika kraton mengadakan upacara ritual Wilujengan Jumenengan (selamatan kenaikan tahta) sang raja, harus di gelar tarian sakral bedaya ketawang (tarian ini konon diciptakan oleh Ratu Kidul) dan masih ada lagi ritual-ritual khusus di tempat-tempat petilasan Ratu Kidul, seperti di Khayangan dan Cempuri Parangkusumo. Termasuk Panggung Songgo Buwono. “Dengan begitu secara gaib kraton akan selalu ‘dilindungi’ dan dibantu oleh Kanjeng Ratu ketika menghadapi masalah-masalah­ yang rumit” lanjutnya

Disisi lain ada orang yang beranggapan bangunan Panggung Songgo Buwono yang tingginya 36 meter ini merupakan tempat untuk mengintip kondisi musuh yang berada di luar kraton, termasuk bekas markas Kompeni Belanda, Benteng Vastenburg yang berada di sebelah utara gapura Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Alasannya, di puncak Panggung Songgo Buwono itu pernah ditemukan teropong, alat yang digunakan untuk melihat secara jarak jauh. “Karena dulu memang Panggung Songgo Buwono itu bangunan tertinggi di wilayah Surakarta” ujar KGPH Dipokusomo

Selanjutnya secara terpisah Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo yang juga salah satu putra kinasih PB XII mengatakan, Panggung Songgo Buwono itu berada di Sasana Sewaka. Kraton Surakarta ini jika dilihat dari radius 500 meter dari luar areal kraton saja puncak Panggung Songgo Buwono sudah tidak tampak lagi. Hal ini berdasarkan perkembangan zaman sekarang ini bangunan gedung bertingkat sudah banyak yang menjulang tinggi melebihi bangunan Songgo Buwono.

Waktu Negara ini belum merdeka, Panggung Songgo Buwono merupakan ‘tower’ yang bentuknya segi delapan, dengan diameter 7 meter dan dibangun tahun 1785 pada saat zaman keemasan PB III. Bangunan ini tampak megah, tinggi dan kokoh. Sehingga sesuai dengan namanya yang memiliki makna penopang alam semesta (panyangga jagad/dunia) dan tidak ada yang menyamai. Saat itu ratusan tahun setelah kraton pindah dari Kraton Kartasura. “Memang dulu Kraton Surakarta, merupakan kraton pindahan dari Kraton Kartasura, seusai perang pecinan” katanya

Selanjutnya Panggung Songgo Buwono ini sudah berulangkali mengalami renovasi. Yakni pada zaman PB VIII tahun 1870, bangunan ini pernah retak akibat terjadinya gempa bumi. Pada tahun 1954, bangunan Panggung Songgo Buwono pernah terbakar, karena terjadinya konsleting listrik arus pendek. Untungnya, kata Mas Dipo (panggilan akrab KGPH Dipokusumo), tidak menjalar sampai kebawah.
Kendati begitu bangunan yang terdiri dari ornamen kayu jati yang sudah rapuh itu memang perlu diperbarui.

Meski sedikit demi sedikit dimulai di renovasi lagi pada tahun 1970 sampai tahun 1985, tetapi pada tahun 1987 kraton juga kebakaran lagi dengan sebab yang sama, yaitu konsleting arus listrik cendhek dan terpaksa dibangun lagi. Masih menurut Mas Dipo, fungsi bangunan Songgo Buwono ini kalau dilihat dari sisi-sisi bangunanya yang kokoh dan tinggi, pantas kalau dijadikan tower untuk mengamati. ”Dengan kondisi bangunannya yang tinggi memudahkan dengan gamblang raja mengawasi situasi dan kondisi atau suasana ibukota kerajaan,” ungkapnya

Termasuk untuk mengawasi kegitan dan gerak gerik pasukan musuh. Kompeni belanda yang bermarkas di Benteng Vastenburg yang jaraknya tidak jauh dari kraton ini. Panggung Songgo Buwono dalam kondisi sekarang seperti kehilangan pamornya, sebab sudah tidak lagi sebagai bangunan yang tertinggi di Kota Solo. Dengan demikian sudah tidak lagi berfungsi sebagai tempat pengamatan keadaan di luar kraton. Masalahnya sekarang sudah banyak bangunan yang dekat dengan kraton saja sudah menjulang tinggi, melebihi Panggung Songgo Buwono.

Menerima Kenyataan.

Mas Dipo mencontohkan, bangunan itu diantaranya kantor BCA (bank central Asia), BTC (benteng trade center), bangunan bekas gedhung BHS (bank harapan santosa) maupun PGS (pusat grosir Solo) dan masih banyak yang lainnya. Meski begitu kondisi ini tidak bisa di tolak pendiriannya begitu, sebab sudah menjadi resiko dan tuntutan zaman. Mas Dipo sendiri juga mengakui, adanya apartemen, hotel, kantor-kantor yang bermunculan di Kota Solo memang tidak bisa begitu saja dibendung. ”Semua itu sebagai tanda kemajuan masyarakat kota, sehingga kraton harus mau menerima kenyataan ini” kilahnya

Memang, sebelum negara ini berubah menjadi republik ada larangan mendirikan bangunan yang tingginya melebihi Panggung Songgo Buwono. Sudah semestinya kalau aturan itu sangat logis pada waktu itu, karena bangunan ini merupakan tower yang berfungsi untuk mengamati kondisi di luar kraton yang merupakan pemerintahan yang berkuasa pada zamanya. Namun setelah fungsi itu surut, maka aturan tadi sudah tidak bisa lagi diberlakukan. “Meski begitu, pemerintah bisa memberi toleransi. Maksud saya, bangunan ini pada radius tertentu masih bisa dilihat oleh para wisatawan dan lingkunagan bangunan kraton masih bisa dirasakan sebagai bangunan sejarah” ujarnya.

Sementara itu kembali menurut pendapat Mbak Moeng (panggilan akrab GKR Wandansari), Panggung Songgo Buwono itu sebagai tempat untuk melakukan olah medetasi atau semadi dengan heneng dan hening, mengosongkan pikiran seorang raja menyampaikan permohonan kepada Tuhan agar kawula (rakyatnya) supaya damai dan sejahtera. ”Panggung Songgo Buwono itu sebagai tempat rada berdoa agar kondisi kawula tetap tata tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi bagi bangsa dan negara nusantara, sehingga bisa terhindar dari musibah dan bencana” katanya

Jadi bangunan Panggung Songgo Buwono ini merupakan salah satu bangunan kraton yang dikeramatkan, sehingga tidak sembarang orang bisa memasukinya, kalau tidak mendapatkan palilah (diijinkan) raja. Memang, pada waktu-waktu tertentu para ulama kraton dan spiritualis kraton diijinkan masuk untuk melakukan jamasan (membersihkan) Panggung Songgo Buwono. Disinggung masalah fungsi panggung (menara) kraton ini untuk mengintip kondisi di luar kraton, Mbak Moeng juga membenarkan jika pada zaman penjajahan Kolonial Belanda untuk mengawasi kegiatan musuh.

Namun setelah zaman ini merdeka dan berubah menjadi negara kesatuan RI, Panggung Songgo Buwono berubah fungsi dan dikultuskan sebagai tempat untuk menghormati jerih payah perjuangan Kanjeng Ratu Kidul yang membela kraton dalam kondisi terjepit. Untuk itu panggung ini digunakan sebagai sarana meditasi, pertemuan gaib antara kanjeng sinuwun (panggilan untuk raja) dengan Kanjeng Ratu Kidul, berdoa dan sarana bersyukur atas nikmat yang telah dianugrahkan Tuhan. ”Maka pada waktu tertentu panggung ini diberi sesaji, sebagai persembahan bagi mahkluk gaib yang ada disekitarnya” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar